Oleh: Muhammad AS Hikam

Seandainya ada utusan dari planet lain (alien) datang ke Indonesia hari-hari ini, pasti akan bertanya-tanya dan bahkan bingung menyaksikan situasi dan kondisi ummat Islam. Ada begitu banyak kejadian yang secara lahiriah tampak paradoksal atau saling bertentangan namun terjadi pada saat yang sama, dan semuanya mempunyai daya tarik sendiri. Kalaupun para alien itu terdiri dari para pakar tentang Indonesia (Indonesianists), saya kira mereka juga masih tetap terheran-heran: apa yg terjadi di salah satu negeri paling besar di planet bumi ini?

Kurang dari setengah bulan saja, ummat Islam di negeri tersebut, yang notabene merupakan warga negara paling besar jumlahnya, sudah menampilkan berbagai gerakan: PERTAMA, gerakan aksi demo 1410, 411, 212, dan, paling anyar, 1212 yang dimotivasi oleh peristiwa dugaan penistaan agama. KEDUA, aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok teroris Bahrun Naim (BN) dengan target daerah sekitar Istana Negara; KETIGA, aksi-aksi intoleransi dari sekelompok ormas Islam di Bandung dan Yogyakarta; KEEMPAT, perayaan tradisi budaya Islam Nusantara berupa Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan nyaris di seluruh negeri; KELIMA, gerakan massif ummat Islam membantu para korban bencana di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebuah provinsi yang memiliki otonomi khusus untuk penerapan syariah Islam dalam kehidupan masyarakatnya.

Dari kelima fenomena itu tentu rada sulit untuk dicari benang merahnya, setidaknya jika dilihat dari permukaan. Bagi para alien tersebut, secara logika kelima-limanya memiliki motif yang beda serta tujuan akhir (end game) yang juga tidak sama. Yang lebih membuat para utusan itu bingung adalah respon negara dan para penguasa Indonesia menyikapi fenomena yang kontradiktif dan paradoks tersebut. Sebab dari pengamatan mereka, penguasa negeri itu tampaknya tidak sinkron dan malah seperti kehilangan ide serta kreatifitas. Memang jika dilihat dari segi penanganan aksi teror, tindakan aparat negeri itu bisa dikatakan luar biasa efektif. Bagaimana tidak? Pada periode yang sama, di beberapa negara dengan penduduk Muslim di dunia mengalami berbagai pemboman kaum teroris dengan korban luar biasa banyak, tapi Indonesia dengan cepat bisa menggagalkan aksi yang sama!

Sayangnya dalam menyikapi intoleransi dan maraknya gerakan massa yang memiliki tujuan politik primordial dan sektarian, penguasa Indonesia tidak bisa seefektif terhadap kaum teroris. Para alien itu menganggap bahwa pasti ada sebab yang utama mengapa demikian. Bisa jadi karena aksi-aksi massa itu punya resonansi dengan kepentingan warga negara, khususnya ummat Islam, yang dalam sejarah tak suka dengan gerakan-gerakan massal model begitu. Para utusan itu melihat bahwa para peserta gerakan massal bukanlah dari kelas bawah saja, tetapi juga kelas menengah terdidik, dan berusia muda. Jadi partisipasi mereka dalam gerakan massa itu bukan karena hanya sekadar ikut-ikutan saja tetapi karena ada daya tarik yang dipersepsikan sesuai dengan harapan mereka.

Tetapi, mungkin saja, para alien itu juga heran, mengapa acara-acara Mauludan tradisional juga makin banyak dan meriah serta massif. Seakan-akan tidak terpengaruh oleh hiruk pikuk gerakan massa dan aksi kekerasan bahkan teror. Demikian pula, solidaritas terhadap para korban bencana di Aceh, menunjukkan bahwa ummat Islam di Indonesia dan warga negara lain yang beda agama, juga sangat kuat solidaritasnya. Lalu di mana garis demarkasi itu mesti ditarik, sehingga feomena yang saling berlawanan itu bisa dipahami dengan logis?

Para alien dan pakar-pakar Indonesia yang dimilikinya itu saya kira masih belum menemukan jawab sampai ketika mereka kembali ke planet asal mereka. (*)