Oleh: Muhammad AS Hikam

Pemerintah Presiden Jokowi harus bekerja ekstra cepat, kalau perlu dalam hitungan jam, untuk mengklarifikasi kabar miring yang beredar mengenai status kewarganegaraan salah seorang anggota Kabinet Kerja, yaitu Menteri ESDM Archandra Tahar. Archandra Tahar baru beberapa minggu lalu dilantik menggantikan Sudirman Said setelah terjadi kocok ulang (reshuffle) kabinet.

Kecepatan bertindak ini sangat penting dengan alasan:

1). Masalah kewarganegaraan, apalagi seorang pejabat negara dalam kabinet, adalah termasuk fundamental. Melanggar aturan yang fundamental ini sangat besar resikonya bagi kredibilitas Pemerintah dan khususnya Presiden Jokowi;

2) Nama baik Archandra Tahar sendiri harus dipulihkan, seandainya berita ini tidak benar, dengan segera, sehingga beliau bisa bekerja dengan baik;

3) Jangan sampai terjadi fitnah yang bertujuan politik, perlu ada klarifikasi langsung dari pihak yang berwenang, dalam hal ini Kemenlu dan Kemendagri, mengenai status kewarganegaraan tersebut. Sebab jelas Indonesia tidak mengenal dwi kewarganegaraan dalam aturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk sementara saya masih khusnuzon alias berbaik sangka, karena mungkin Archandra Tahar hanyalah pemegang kartu hijau (Green Card, GC) yang merupakan izin bekerja di AS. Pemegang GC tidak harus warga negara AS, tetapi bisa juga warga negara lain tetapi sudah pernah menetap dan berhak mendapatkannya. Inilah yang mesti diungkap dan hal itu sangat mudah dilakukan. Namun jika benar bahwa Archandra Tahar sudah melakukan upacara penyumpahan sebagai warga negara AS, tentu masalah menjadi lain. Karena hal itu berarti pada saat itu juga beliau harus dinyatakan telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia.

Menjadi warga negara suatu negara adalah hak asasi manusia. Sah-sah saja bila seseorang ingin pindah kewarganegaraan dengan berbagai pertimbangan. Namun negara juga berhak mengatur masalah yang sangat fundamental ini, karena hal tersebut memiliki kaitan erat dengan eksistensi sebuah negara, kedaulatan negara, dan hak-hak sebagai warga negara. Dalam hal ini RI memiliki azas kewarganegaraan yang tidak sama dengan AS, dimana yang disebut terakhir itu mengakui kewarganegaraan ganda. Sementara Indonesia tidak mengenal dwi kewarganegaraan dan semua pejabat negara wajib berstatus warganegara RI ketika memegang jabatan!

Pemerintah tak boleh memandang enteng masalah ini, dan mesti bertindak cepat serta transparan. Tidak cukup jika Pemerintah hanya mengatakan ‘tidak ada masalah’ tanpa penjelasan yang gamblang, terinci, dan memakai landasan argumentasi yang rasional. Jangan sampai masalah ini menjadi berlarut dan menjadi komoditi politik yang akan mengganggu kinerja Kabinet Kerja dan menciptakan gonjang-ganjing politik.