Asabri

Kastara.ID, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Achmad Dimyati Natakusuma menilai Kejaksaan Agung bersikap berlebihan dalam menangani kasus yang menimpa mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizeq Shihab (HRS). Hal itu disampaikan Dimyati saat mengikuti rapat Komisi III dengan Kejaksaan Agung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta (14/6).

Dimyati mengatakan, seharusnya penanganan kasus seperti yang menimpa HRS lebih mengedepankan restoratif justice. Terutama jika dikaitkan dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice. Seharusnya penangannya tidak berlebihan. Jika tidak, menurut Dimyati yang muncul justru terkesan lebay.

Namun karena kasus HRS saat ini sudah masuk pengadilan, anggota Fraksi PKS ini menyatakan keputusan penyelesaian perkara tentu ada di ranah pengadilan. Dimyati menyebut publik akan melihat apakah nantinya keadilan yang menentukan prosesnya.

Pada kesempatan yang sama, anggota Fraksi PPP Arsul Sani menyoroti perbedaan penanganan hukum antara pihak yang pro dan kontra terhadap pemerintah. Arsul menyebut terlihat adanya disparitas dalam tuntutan pidana. Arsul mencontohkan, perbedaan dalam penanganan perkara berkas HRS, aktivis Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, dan Ratna Sarumpaet.

Ketiganya dituntut dengan hukuman maksimal, yakni 6 tahun penjara dalam kasus penyebaran informasi palsu. Padahal menurut Arsul dalam kasus serupa yang dilakukan oleh orang yang bukan dari kelompok yang bersebrangan dengan pemerintah, tuntutan hukum yang diajukan jaksa tidak dimaksimalkan.

Arsul mengatakan, akibat tindakan itu muncul kesan Kejaksaan Agung tidak murni lagi menjadi penegak hukum. Tapi sudah menjadi alat kekuasaan dalam penegakan hukum.

Menanggapi hal itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengakui adanya perbedaan atau disparitas tuntutan hukum dalam menangani perkara. Burhanuddin menyadari hal itu sebagai suatu kelemahan. Menurutnya, Kejaksaan Agung belum sepenuhnya mampu mengawasi disparitas yang terjadi.

Itulah sebabnya Burhanuddin menugaskan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana segera menangani persoalan disparitas. Meskipun memberikan kewenangan di daerah, fungsi pengawasan tetap berada di pusat. Burhanuddin meminta jangan sampai disparitas terjadi lagi. (rso)