Nadiem Makarim

Kastara.ID, Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj turut bekomentar tentang Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kyai Said menilai peraturan yang baru disahkan pada 31 Agustus 2021 itu perlu disempurnakan.

Berbicara saat menghadiri acara peletakan batu pertama Rumah Sehat, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas)-NU, Johar Baru, Jakarta Pusat (15/11), Kyai Said menyebut ada beberapa poin dalam Permendikbudristek 30/2021 yang perlu mendapat penyempurnaan.

Namun Komisaris Utama (Komut) PT Kereta Api Indonesia (KAI) ini tidak menyebut secara rinci, poin apa saja yang harus disempernakan. Kyai Said hanya menegaskan hubungan seksual tidak boleh dilakukan jika tanpa status pernikahan. Hubungan seksual, baik karena paksaan maupun suka sama suka, keduanya adalah haram hukumnya.

Kyai Said berjanji akan mengungkapkan semua saat nanti bertemu dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Menrdikbudristek) Nadiem Makarim.

Seperti diketahui, Permendikbudristek 30/2021 tetang PPKS di perguruan tinggi sempat menjadi polemik. Berbagai pihak menilai aturan tersebut mempunya beberapa kelemahan. Bahkan Permendikbudristek 30/2021 dinilai justru melegalkan seks bebas.

Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) Yenti Garnasih mengaku tidak habis pikir dengan beberapa pasal di Permendikbudristek tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi. Yenti menilai aturan tersebut bisa membawa kampus menjadi kebaratan-baratan.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor itu menyoroti klausul ‘tanpa persetujuan korban’ di pasal 5 Permendikbudristek 30/2021. Di antaranya yang disoroti Yenti adalah:

1. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

2. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;

3. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;

4. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

Saat memberikan komentar (15/11), Yenti menyatakan wajar jika masyarakat menafsirkan peraturan tersebut menjadi klausul yang melegalkan seks bebas. Yenti pun mempertanyakan, bagaiman dengan norma agama, kesusilaan dan etika. Artinya nantinya hal-hal yang dilarang dalam agama dan norma kesusilaan tapi mendapat persetujuan menurut Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS.

Sebagai solusi, Yenti menuturkan pasal-pasal bermasalah dalam Permendikbudristek 30/2021 direvisi. Aturan tersebut sebaiknya disesuaikan dan merujuk pada aturan agama dan nilai-nilai kesusilaan yang selama ini dipegang teguh masyarakat. (ant)