Jamiluddin Ritonga

Kasara.ID, Jakarta – Nama Moeldoko sontak menghiasi media di tanah air. Pasalnya, ia didaulat menjadi ketua umum Partai Demokrat pada KLB ilegal di Deli Serdang, Sumatera Utara.

“Jabatan itu memang menggiurkan bagi orang yang terobsesi menjadi pemimpin. Dengan menjadi ketua umum, peluangnya menjadi capres atau cawapres akan lebih terbuka,” ungkap Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga kepada Kastara.ID di Jakarta, Kamis (18/3).

Namun di negara demokrasi, lanjut pria yang kerap disapa Jamil ini, untuk menjadi ketua umum suatu partai politik (parpol) tentu ada aturannya, seperti UU Partai Politik dan AD/ART. Kalau hal ini dipenuhi, maka jabatan ketua umum akan diperoleh secara terhormat.

“Namun kalau semua aturan itu diterabas atau diakal-akali, maka ketua umum yang diperoleh dengan cara hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang memang. Manusia seperti ini tentu dinilai sangat tercela,” jelas pengajar Metode Penelitian Komunikasi ini.

Jamil justru melihat bahwa cara-cara demikian seharusnya hanya berlaku di negara otoriter. Ketua umum diperoleh dengan segala rekayasa yang disokong kekuasaan dan uang. Cara-cara licik dan tidak ksatria dipertontonkan secara kasat mata. Apapun akan dihalalkan untuk menggapai ketua umum suatu parpol.

“Tentu Moeldoko bukan sosok seperti itu. Sebagai mantan Panglima TNI, sudah pasti jiwa patriotik dan ksatria sudah mendarah daging dalam dirinya,” kata Jamil berpraduga.

Seorang patriotik dan ksatria dengan sendirinya akan menjunjung tinggi etika dan harga diri. Hal ini sudah menjadi prinsip hidup yang tidak bisa ditawar lagi.

“Saya percaya, Moeldoko masih memegang teguh semua itu dan menjadikannya sebagai pedoman hidup dalam bersikap dan berperilaku, termasuk dalam memutuskan patut tidaknya jabatan ketua umum untuk diterima atau ditolak,” tandas penulis buku Perang Bush Memburu Osama ini.

Dengan berbekal prinsip itu, Moeldoko kiranya dapat berpikir jernih untuk menilai ilegal atau tidaknya pelaksanaan KLB di Deli Serdang. “Sebagaimana yang sudah dikemukakan para ahli hukum dan politik, KLB tersebut sulit untuk dikatakan tidak ilegal,” imbuh Jamil.

Atas dasar itu, sebagai sosok berjiwa patriotik dan kesatria, tentu Moeldoko akan sulit menerima hasil KLB tersebut. Karena itu, sungguh elegan bila Moeldoko menarik diri dari ketua umum Partai Demokrat hasil KLB. Hal itu layak dilakukannya sebagai wujud harga diri yang menjunjung tinggi etika.

Menurut mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996-1999 ini, Moeldoko juga akan dikenang sebagai sosok yang menjaga dan melindungi demokrasi di Indonesia. Sosok anak bangsa yang mengutamakan etika daripada jabatan ketua umum Partai Demokrat.

“Mundurnya Moeldoko dari ketua umum, juga akan memupus prasangka buruk terhadap Presiden Jokowi. Suka tidak suka, selama ini ada penilaian bahwa penguasa berada di balik prahara di Partai Demokrat,” ungkap pengajar Isu dan Krisis Manajemen ini.

Penilaian negatif makin menguat karena Presiden Jokwi tidak pernah mau berkomentar tentang KLB Deli Serdang. Padahal orang tahu, Moeldoko komandannya KSP yang menjadi tangan kanannya presiden dalan menjalankan roda pemerintahan.

“Jadi, bila Moeldoko mundur, selain dapat menjaga integritasnya yang patriotik dan kesatria, juga akan memulihkan nama Pesiden Jokowi yang terseret-seret dalam kasus KLB Deli Serdang,” pungngkas Jamil. (jie)