Demo Buruh

Kastara.ID, Jakarta – Ketua Deperteman Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono mengatakan, pihaknya menolak pemberlakuan Upah Minimum Provinsi (UMP) baru yang hanya naik 8,51 persen. Kahar menyebut dengan kenaikan tersebut, UMP di DKI Jakarta yang semula Rp 3.940.973 menjadi Rp 4.276.349 per bulan pada 2020.

Kahar menduga penetapan kenaikan UMP kali ini hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Pada aturan tersebut kenaikan UMP hanya didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun aturan tersebut tidak mendasarkan kenaikan UMP pada kebutuhan nyata para pekerja.

Saat berbicara pada Selasa (22/10), Kahar menyatakan sejak awal KSPI menolak pemberlakuan PP 78/2015. Selain itu penolakan menurut Kahar juga lantaran saat menetapkan kenaikan UMP pemerintah tidak mengajak unsur pekerja dan pengusaha berunding. Pemerintah menyamaratakan besaran kenaikan UMP tersebut. Padahal kondisi di tiap-tiap daerah berbeda.

Padalah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengharuskan besaran upah harus ditetapkan setelah melalui proses perundingan dengan pekerja. Penetapan aturan kenaikan UMP 2020 menurut Kahar dilakukan melalui surat edaran menteri di tingkat nasional. Hal ini membuat proses perundingan di tingkat daerah menjadi hilang. Itulah sebabnya, KSPI menilai aturan kenaikan UMP sebesar 8,51 persen telah melangkahi UU13/2003.

Lebih jauh Kahar menjelaskan, bagi pekerja di Jakarta kenaikan upah yang melebihi Rp 4 juta bisa sedikit dirasakan. Tapi bisa jadi kenaikan tersebut tidak dirasakan pekerja di daerah lain. Kahar mencontohkan pekerja si Ciamis, Jawa Barat yang UMP-nya hanya Rp 1.600.000. Kenaikan 8,51 persen tentu tidak berarti apa-apa.

Sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019 yang berisi besaran kenaikan UMP pada 2020. Surat yang diedarkan kepada seluruh gubernur di Indonesia itu menyebutkan kenaikan UMP pada 2020 sebesar 8,51 persen. Hal itu didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. (mar)