Oleh: Muhammad AS Hikam

Seharusnya ketika kita melihat greget dari anak-anak muda untuk membangun bangsanya melalui perpustakaan, kita mesti membantu dan melindunginya. Bukan malah sebaliknya, mencurigai kegiatan mereka seperti layaknya geng motor, dan kemudian melakukan kekerasan untuk menghentikan kegiatan tersebut. Bagi saya, pihak-pihak manapun yang melakukan kedua hal tersebut adalah sama saja sedang menyebarkan kebodohan atau setidaknya membiarkan kebodohan berkembang.

Perpustakaan Jalanan Bandung (PJB), adalah salah satu kerja kreatif anak-anak muda yang peduli dan merasa terpanggil untuk ikut memerangi kebodohan yang ada dalam masyarakat. Dalam dirinya sendiri, kegiatan yang sudah 10 tahun bergulir tersebut adalah sebuah perbuatan mulia dan karenanya perlu didukung dan dilindungi. Kalaupun ada pihak yang mempersoalkan keberadaannya, termasuk Pemda, Polri, atau bahkan Kodam Siliwangi, semestinya mereka tahu apa yang mesti dilakukan: mengajak aktivis PJB bicara, berdialog, meminta mereka bertanggung jawab jika ada komplain, dan kalau perlu membawa mereka ke pengadilan jika memang ada dugaan bahwa PJB melakukan perlanggaran hukum. Bukan dengan melakukan penggrebekan dengan berbagai alasan yang ekonomis dalam penalaran dan kejujuran.

Kabar yang beredar di media seputar penertiban terhadap kegiatan PJB oleh pasukan TNI dari Kodam Siliwangi (20/8), perlu kita cermati. Jika benar bahwa oknum-oknum TNI tersebut melakukan tindak kekerasan, saya kira memang perlu diusut dan dibawa ke ranah hukum. Namun tindakan penertiban yang menjadikan sasaran PJB tersebut, hemat saya adalah sebuah kebodohan. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Kepala Penerangan Kodam III Siliwangi Desi Arianto sangat tidak nalar. Desi Arianto mengatakan, misalnya, bahwa “aktivitas yang mereka lakukan dapat menjurus kepada aktivitas negatif dan meresahkan”. Pertanyaan saya, apakah perpustakaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun bisa bertahan jika ia memang menjurus pada aktivitas negatif dan meresahkan masyarakat?

Alasan Desi Arianto yang lain, yaitu “mengapa kegiatan membaca buku–buku tersebut harus dilaksanakan dengan berkumpul di suatu tempat pada malam hari?” juga merupakan alasan sontoloyo dan tidak bermutu. PJB dibuat seperti itu justru karena memberikan kesempatan kepada masyarakat yang hanya punya waktu untuk membaca buku-buku secara gratis pada saat senggang di malam hari dan itu pun hanya satu hari dalam seminggu.

Pemilihan Taman Cikapayang juga punya dasar yang masuk akal. Misalnya, dalam situs Facebook PJB dikatakan “Selain menjadi melting pot bagi banyak kalangan yang singgah atau sekadar melintas di Bandung, taman (Cikapayang) ini juga memiliki penerangan paling baik dibandingkan dengan taman-taman yang lain. Taman ini adalah representasi kota, dimana semua berada di sana. Pedagang kaki lima, pejalan kaki yang melepas lelah, pemuda yang berolahraga ringan, klub motor yang berbagi pengalaman, dan lain sebagainya”. Walhasil, menurut PJB, taman ini adalah “(s)ebuah cerminan nyata atas kota yang tangguh mendapuk diri sebagai kota kreatif.” Inilah yang gagal dipahami oleh Desi Arianto yang, jangan-jangan, malah tidak paham mengenai masyarakat dan kondisi kota Bandung!

Alasan yang paling menggelikan sekaligus menunjukkan ketidakpahaman Desi Arianto adalah ini: kredibilitas buku-buku yang dimiliki PJB. Dia mempertanyakan “kredibilitas dari buku-buku yang dibawa perpustakaan jalanan. Apakah sudah terlebih dahulu diketahui kredibilitasnya, apakah benar buku–buku tersebut adalah buku–buku yang diijinkan untuk dibaca oleh kaum muda, atau malah buku–buku yang di dalamnya berisi topik yang tidak sesuai.” Jika Desi Arianto tidak yakin dengan kredibilitas buku-buku PJB, dia bisa melapor ke Polri atau Kejaksaan, bukan? Lagi pula pernyatan ini seakan-akan juga meremahkan nalar publik di Kota Bandung, sebab jika memang kredibilitas buku-buku PJB diragukan, sudah pasti akan ada yang protes atau setidaknya lapor selama bertahun-tahun kegiatan itu diadakan. Nah, berapa kali protes terhadap PJB terjadi, dan berapa banyak buku-buku PJB dilaporkan dan dirampas oleh Polisi dan Kejaksaan di kota tersebut?

Walhasil, alasan-alasan yang digunakan utk memberangus kegiatan PJB oleh Kodam Siliwangi sama sekali tak bisa dipertahankan oleh nalar sehat dan juga kepantasan dalam sebuah masyarakat yang terbuka dan sistem demokrasi. Saya kira petinggi TNI harus mengambil tindakan tegas kepada siapa pun yang bertanggung jawab di lingkungan Kodam Siliwangi terkait dengan tindakan seperti ini. Jangan sampai hal ini menjadi alat kampanye negatif terhadap TNI yang sejatinya telah melakukan reformasi internal pasca-reformasi dengan sangat baik itu. (*)