Gempa Bumi

Kastara.ID, Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, sebagai dampak dari perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan, kejadian cuaca dan iklim ekstrem yang memicu bencana hidrometeorologi berupa banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang, puting beliung, gelombang tinggi, dan siklon tropis meningkat tajam dalam periode lima tahun terakhir.

Peningkatan juga terjadi pada kejadian gempa bumi, data BMKG mencatat, sejak 2008 hingga 2016 rata-rata sebanyak 5.000-6.000 kali kejadian gempa bumi dengan berbagai kekuatan dalam setahun. Namun pada 2017 kejadian gempabumi meningkat menjadi 7.169 kali, bahkan pada 2018 dan 2019 menjadi lebih dari 11.400 kali.

“Fakta situasi ini menjadi alarm bagi kita semua untuk segera melakukan peningkatan kesiapsiagaan menghadapi bencana di daerah dan di masyarakat, agarĀ Zero Victims dapat benar-benar terwujud,” ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati sebagaimana dilansir laman www.bmkg.go.id, Sabtu (24/4).

Namun, Dwikorita mengatakan, pihaknya masih dihadapkan pada sejumlah tantangan di lapangan dalam peningkatan kesiapsiagaan menghadapi bencana tersebut.

“Kendala paling krusial yang dihadapi BMKG adalah terbatasnya jumlah peralatan monitoring gempa bumi nontektonik (karena erupsi gunung api, longsor laut, dsb), mengingat banyaknya gunung api dan potensi longsor di laut Indonesia yang dapat menimbulkan tsunami, seperti Tsunami Selat Sunda dan Palu 2018,” jelasnya.

Kendala lainnya, yaitu data monitoring gunung api laut/pada pulau kecil yang belum terintegrasi secara optimal ke dalam Sistem Informasi gempa bumi dan Peringatan Dini Tsunami di BMKG. Pemantauan data tersebut dilakukan oleh lembaga yang terpisah, yaitu oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang berada di bawah Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Terpisahnya lembaga ini, menurut Dwikorita berdampak fatal saat kejadian Tsunami Non Tektonik di Selat Sunda yang diakibatkan oleh erupsi gunung api yang memicu lingsor laut, yang tidak dapat terpantau oleh BMKG. Sebagai lembaga penyedia peringatan dini, BMKG dapat merujuk pada contoh baik dari Japan Meteorological Agency (JMA) yang melakukan monitoring gempa bumi, gunung api, dan cuaca di dalam satu lembaga.

“Kekhawatiran kami, tsunami akibat erupsi gunung api, sedangkan sistem peringatan dini tidak ada link dengan gunung api karena berada di bawah ESDM. Jadi kami tidak punya data sama sekali. Kurang lebih masih ada delapan gunung api yang berpotensi tsunami yang datanya sama sekali tidak dimiliki BMKG,” katanya.

Selain itu, juga adanya gap dalam rantai peringatan dini di bagian hilir untuk masyarakat. Informasi Peringatan Dini yang sampai ke daerah melalui BPBD/Tim Siaga Bencana, ternyata tidak selalu diikuti respons yang memadai.

“Dalam hal ini perlu disiapkan rencana kontigensi dan SOP yang jelas oleh pemerintah daerah dengan dukungan Kementerian Dalam Negeri dan BNPB yang merupakan focal point yang mengkoordinasikan penanggulangan bencana serta komponen kultur dalam Sistem Informasi Gempa bumi dan Peringatan Dini Tsunami, sesuai dengan Peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku,” pungkasnya. (ant)