RS Ummi Bogor

Kastara.ID, Jakarta – Pakar hukum tata negara Refly Harun mengritik keputusan Hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang tetap memvonis Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan hukuman 4 tahun penjara. Vonis banding tersebut menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur terhadap mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu.

Refly mengatakan keputusan hakim PT DKI Jakarta yang menolak banding HRS terasa janggal dan tidak rasional. Refly bahkan menyebut putusan itu sebagai sebuah irasionalitas hukum yang saat ini sedang dilakukan PT DKI Jakarta. Melalui unggahan di kanal YouTube miliknya (30/8), Refly menuturkan PT DKI Jakarta tengah memperlihatkan ketidakadilan yang nyata.

Mantan Komisaris Utama PT Pelindo I itu membanding putusan yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi Pinangki Sirna Malasari beberapa hari lalu. Mantan Jaksa pelaku suap pada kasus Djoko Tjandra itu mendapat pengurangan masa hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun.

Padahal menurut Refly, Pinangki melakukan tiga kesalahan sekaligus, yakni menerima suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Menjadi semakin ironi lantaran Pinangki melakukan kejahatan itu saat menjadi jaksa yang seharusnya bertugas menegakkan hukum. Irasionalitas hukum terlihat saat hakim menyamakan vonis HRS dengan Jaksa Pinangki.

Menurut Refly, putusan terhadap HRS dan Jaksa Pinangki yang sama-sama divonis empat tahun penjara terkesan tidak adil. Refly menilai, para hakim PT DKI Jakarta seolah tak memiliki sense of justice karena menganggap apa yang dilakukan HRS dan Pinangki setara.

Padahal Pinangki benar-benar berniat dan melakukan tindak kejahatan. Sedangkan HRS hanya bermaksud menyatakan kondisi kesehatan berdasarkan hasil pemeriksaan medis yang dijalaninya. Refly menuturkan, kondisi kesehatan adalah sesuatu yang bersifat subjektif. Tidak seharusnya seseorang dinyatakan bersalah dan menyebarkan berita bohong atas sesuatu yang bersifat subjektif.

Mantan Komisaris Utama PT Jasa Marga ini menilai, HRS seharusnya hanya perlu mendapat sanksi administrasi. Hal ini dalam upaya pemerintah menegakkan aturan terkait penanganan pandemi Covid-19.

Refly berpendapat, tidak seharusnya HRS dijerat dengan Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946. Aturan tersebut hanya pantas diterapkan kepada orang yang mengucapkan berita bohong, hoaks dengan tujuan untuk membuat keonaran. (ant)